Minggu, 18 Juli 2010

Mengerling…


Hawa dingin menusuk tulang ketika kaki mulai dipijakkan di desa ini. Sebuah desa di kota yang terbilang terpelajar dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak. Pemandangan yang bisa didapati adalah orang-orang seumuranku, yah kemungkinan sekitar 20 tahunan sudah menggendong anak mereka atau sudah hamil dan siap menjadi ibu. Fenomena ini seakan menjadi hal yang biasa dikalangan mereka. Pendidikan menjadi terlalu mahal ketika mereka hanya menganggap uang yang mereka hasilkan untuk makan pun sangat pas-pasan.
Sedikit ironis, karena daerah ini merupakan penghasil cengkeh dan kopi. Tiap tahun ton-tonan cengkeh dijual ke kota dan menghasilkan juta-an rupiah. Untuk keluarga yang terbilang mampu dan memiliki tanah dan kebun cengkeh berlimpah hanya menyekolahkan anaknya hingga SMP (hanya wajib belajar Sembilan tahun), itu pun kebanyakan untuk anak laki-laki mereka. Anak perempuan menjadi prioritas kedua, karena mereka memiliki anggapan anak perempuan akan diambil atau tinggal dengan suaminya kelak. Hal ini membuat mereka berfikir bahwa menyekolahkan mereka hanya membuang-buang uang, toh nanti akan tinggal bersama orang lain. Untuk keluarga miskin menyekolahkan anak-anak mereka memang satu momok yang menakutkan di tengah kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Program pemerintah yang mendengung-dengungkan sekolah gratis pun tak dapat banyak bicara. Sedikit bingung, pemerintah yang kurang sosialisasi atau memang warga yang tidak mau tahu. Namun, untuk keluarga mampu pendidikan yang terlalu tinggi tidaklah penting.
“Emangnya mau ganti’in siapa?... Presiden masih hidup, menteri-menteri juga masih eksis, jadi anggota dewan malah banyak dosa…”
Yah, agak sulit untuk mengubah pemikiran seseorang untuk memandang satu hal dari sisi positif, karena memang segala sesuatu memiliki dua sisi yang berbeda.
Anak laki-laki biasanya hanya meneruskan apa yang telah dilakukan orang tua mereka sebelumnya, berkebun cengkeh, coklat, atau memeilihara sapi. Anak wanita sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Menjadi pembantu rumah tangga, Sales Promotion Girl (SPG) di mal-mal besar, penjaga toko, atau pengasuh, merupakan pilihan bagi mereka yang telah tamat SD. Anak wanita terlihat seperti mesin pencetak uang bagi keluarganya. Namun ketika mereka mulai tertarik dengan lawan jenis, menikah bukanlah pilihan yang sulit.
Pernikahan dini menjadi hal yang sudah biasa. Orang tua pun tidak melarang anaknya menikah dengan usia yang terbilang masih sangat muda. Bahkan yang sedikit miris kadang kedua mempelai tidak memiliki pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka nantinya. Bagi orang tua mempelai wanita pernikahan anak mereka menjadi satu hal pelepasan beban, mengingat anak mereka akan menjadi milik suaminya. Sedangkan bagi orang tua mempelai pria akan menjadi berbahagia karena kedatangan menantu tetapi akan sedikit berat jika anak lai-laki mereka tidak bekerja, hal ini akan memberatkan kehidupan dari orangtua mempelai laki-laki.
Anak wanita yang kini telah menyandang statu sebagai istri terkadang harus pergi ke kota untuk mencari pekerjaan dan suaminya menjadi petani di desa. Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik akan sering kali menimbulkan pertengkaran, maklum emosi “anak muda” terbilang labil. Nah, ujung-ujungnya perceraian kemungkinan tak terhindarkan. Menyandang status janda atau duda dengan umur yang relative muda juga hal yang tidak terlalu perlu diributkan. Umumnya yang menjadi korban adalah jika perkawinan mereka menghasilkan anak. Orang tuanya akan menjalani jalan masing-masing, menemukan pasangan hidup lagi dan menikah lagi, dan lagi…. Si anak akan tinggal bersama nenek atau kakek atau anggota keluarga yang masih. Jika anaknya laki-laki kemungkinan akan bernasib lebih baik, akan diajak oleh ayah dan menjadi penerus keturunan namun jika perempuan sudah bisa ditebak.
Pendidikan akan menjadi satu hal yang paling menentukan dalam peningkatan hidup individu, keluarga, dan masyarakat sebuah desa.
Entahlah… satu hal yang menjadi kebiasaan selama 20 tahun berlalu (setahu ku), atau berubah seiring perubahan zaman. Kebiasaan nikah muda dan pendidikan yang dianggap tidak terlalu penting.

Minggu, 04 Juli 2010

We are the one

.Hong Wilaheng Awignamastu..
.OM Namo Namo budaya........
.Amitaba..semoga berbahagia.
.OM Namo Siwa Buda............
.OM Swastyastu...................Salam sejahtera untuk semua..
.Assalaamu`alaikum Wr...Wb..
.Sampurasun..Kulonuwun...

Salam dengan berbeda pengucapan...
Yang aku ingat kita mungkin berbeda, tapi sebenarnya tidaklah berbeda.
Hanya terkadang banyak orang primitif yang terlalu menganggap semuanya berbeda.
Perbedaan yang ada hanya ada ORANG BAIK dan ORANG JAHAT.
Jadi tidak perlu mengaku berbeda untuk membuat anda lebih baik.