Sabtu, 14 Agustus 2010
Field Trip Primata, Monkey Forest
The Sacred Monkey Forest of Padangtegal located at Ubud, Gianyar, Bali. In the forest we can find much monkey at the last count there are approximately 340. Pura Dalem and Prajapati (Hindu’s temple) which used when cremation ceremony. The monkeys within the Sacred Monkey Forest of Padangtegal are commonly called long-tailed macaques. Their scientific name is Macaca fascicuiaris. On Bali, there are Balinese long-tailed macaque troops (populations) that live in areas where they have little to no contact with humans and troops that come into contact with humans on a regular basis. However, despite the fact that many species of macaques thrive in areas that are heavily utilized by humans, there is evidence that the viability of Balinese long-tailed macaques (the ability of macaques to continue to thrive) may be dependent upon the conservation of Bali's forested areas.
Throughout Bali, Balinese long-tailed macaques tend to stay within forested areas. However, Balinese long-tailed macaques, including those within the Sacred Monkey Forest of Padangtegal, occasionally wander into rice fields or even village areas that are adjacent to the forest. Outside of forested areas, monkeys can become pests and the Balinese tend to apply whatever means necessary to protect their crops and other property. The Sacred Monkey Forest's long-tailed macaques are the subject of an ongoing resarch project that is being conducted by the Balinese Macaque Project. The Balinese Macaque Project involves researchers from the United States, Guam, and the University of Udayana (Bali, Indonesia). To date, the Balinese Macaque Project has conducted research to determine the mating strategies, migration and range patterns, dominance ralationships, and habitat use of Balinese long-tailed macaques. The Balinese Macaque Project hopes that such research will facilitate the development of conservation strategies for Balinese long-tailed macaques and sites like the Sacred Monkey Forest of Padangtegal.
Adult male and female Balinese long-tailed macaques have distinguishable physical characteristics. Males tend to be larger then females. Male Balinese long-tailed macaqes can weigh up to 10 kilograms (approximately 18 pounds). Males, in comparison to females, have broader shoulders and larger canine teeth. In addition, females have facial hair that resembles a 'bear' whereas males have more pronounced 'mustaches'.
Compared with adult males, sub-adult males have smaller bodies, smaller canine teeth, shorter back/shoulder hair and narrower shoulders. Compared with adult females, sub-adult females typically have shorter nipples. This is because female macaques do not reach adult status until after they have given birth.
Young macaques that are between the age of 0-6 months old and have predominantly black hair color are called 'Infant 1'. Young macaques that are between the age of 6-12 months old and have black hair only on their head are called 'Infant 2'. Finally, young macaques that are between 1-3.5 years in age are called 'Juveniles'. Mother macaques can be very protective and tourists should always be cautious when approaching infant macaques. (sacredmonkeyforest)
Ubud, 13 Agustus 2010
Begitu sampai di halaman parkir di monkey forest banyak orang berpakain adat Bali, hari itu ada upacara nganyarin (upacara umat Hindu). Yah, menjadi satu daya tarik khusus untuk para wisatawan. Pak Randy juga jadi asik menjeprat-jepret ibu-ibu yang sedang “nyuhun banten” (menaruh sesajen di atas kepala, dilakukan sambil berjalan).
Belum masuk ke areal hutan kami sudah disambut oleh para monyet yang mengira kami membawa makanan untuk mereka. Para wisatawan juga banyak membeli pisang yang dijual oleh para penjual pisang di depan pintu masuk, tapi tertulis larangan untuk “tidak memberikan kacang bagi para monyet”. Hal ini juga dimaksudkan agar monyet tidak mengalami obesitas. Seperti yang sudah dijelaskan monyet-monyet yang ada adalah monyet ekor panjang (Macaca fasicularis). Merupakan satu dari dua spesies yang paling banyak ada di Bali. Spesies lain yang ada adalah yang terdapat di Taman Nasional Bali Barat.
Hal yang paling tidak boleh dilakukan adalah jangan sampai melakukan interaksi yang berlebihan dengan monyet . Selain kemungkinan transmisi bakteri maupun virus yang bersifat pathogen jika hal ini dilakukan juga sangat beresiko jika monyet yang disentuh berteriak, teriakan monyet yang umurnya masih muda akan mengundang monyet-monyet lain datang. “Hal ini sangat berbahaya, nanti bisa dikerubuti kamu”, kata Ibu Aida.
Cukup banyak infant dan juvenile yang kami temui, ini mengindikasikan pertumbuhan populasinya cukup bagus. Namun yang selanjutnya menjadi masalah adalah kepadatan populasi. Jumlah monyet yang ada sudah terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan luas wilayah dapat dikatakan bahwa populasinya cukup padat. Jadi perlu dilakukan relokasi agar tidak terjadi fragmentasi. Selama ini, monyet-monyet juga memasuki ladang-ladang warga disekitar areal hutan, namun biasanya kembali ke hutan, karena di hutan tempat mereka bisa mendapatkan makanan terutama dari wisatawan maupun petugas.
Kami dapat menyaksikan sambung ayam, hiya Mr. Randy called that was “Chiken Fighting”. Begitu ribut dan begitu riuh, “Gasal…Gasal..gasal” Sambung ayam diadakankarena banyak warga yang berkumpul setelah ada upacara di Pura dan memang tidak berhubungan dengan upacara yang dilakukan.
Bukan hanya monyet yang dapat ditemukan di sana, terdapat sekitar lima ekor rusa. Dulu memang ada sekitar 15 ekor. Lima ekor ada yang di bawa ke Taman Safari Gianyar dan ada pula yang di sumbangkan.
Hal yang menarik yang dapat dijumpai di sana adalah adanya tiga pohon yang menjadi satu, pohon bunut (Ficus Glabela), pule (Astonia Scolavis), dan beringin (Ficus Benyamina) dapat ditemukan di depan pura Praja Pati. pohon bunut (Ficus Glabela), Kresek (Ficus Superba), dan beringin (Ficus Benyamina) dapat ditemukan di depan Pura Dalem. Dari hasil penelitian ada sekitar 115 spesies tumbuhan ada di hutan ini.
Identifikasi Individu
Anakan (Infant)
Ciri-ciri
• Ukuran Tubuh : sekitar 30 cm
• Warna Rambut Kepala : Hitam
• Ciri Lain : Untuk infan yang baru berumur sekitar 1-10 hari warna hitam
mendominasi warna keseluruhan tubuh.
Anakan (Juvenile)
Ciri-ciri
• Ukuran Tubuh : dapat berukuran 2-3 kali lipat dari infant
• Warna Rambut Kepala : Hitam
• Ciri Lain : Warna tubuh biasanya sudah tidak hitam lagi, mulai agak
keabuan.
Muda (Subadult)
Ciri-ciri
• Ukuran Tubuh : Lebih besar dari juvenill
• Warna Rambut Kepala : abu-abu
• Ciri Lain : Taring lebih pendek dari dewasa.
Jantan Dewasa (Adult)
Ciri-ciri
• Ukuran Tubuh : tubuhnya paling besar jika dibandingkan dengan infant,
juvenile maupun betina dewasa.
• Warna Rambut Kepala : Abu-abu
• Ciri Lain : Ada kumis dan callus menjadi satu
.
Betina Dewasa
Ciri-ciri :
• Ukuran Tubuh : Ukurannya tidak melebihi ukuran jantan dewasa
• Warna Rambut Kepala : Abu-abu
• Ciri Lain : Bagian muka berewokan dan callus terpisah.
Terimakasih untuk Ibu Aida (drh. Aida LT Rompis), Pak Soma (drh. I Gde Soma M,Kes) dan Pak Suatha (Dr. drh. I Kt Suatha ) untuk jalan-jalan yang menyenangkan penuh obrolan tentang primata, terimakasih juga untuk Pak Randy (Prof. Dr. Randall C. Keys, Ph.D) dan Awe (mahasiswa Thailand) yang juga banyak berbagi pengalaman tentang konservasi lingkungan .
Kamis, 12 Agustus 2010
KULIAH UMUM “PAK RANDY” (Prof. Dr. Randall C. Keys, Ph.D)
The center's official mission statement is "to facilitate and provide field-based educational, research and outreach opportunities for students and professionals from the University of Washington and partnering institutions around the world in areas relating to global health and the environment."
( From UWeek article Oct. 9, 2009 ): Kyes has been conducting collaborative field training programs in Indonesia since 1991, and over time has added programs in Thailand, Bangladesh, China, India, Nepal, DR Congo, Brazil, and Mexico. It all started with his own research.
Back in 1990, Kyes was in Indonesia doing a population survey of some monkeys on a remote island, and his Indonesian colleagues at Bogor Agricultural University said that they would like to learn more about survey techniques and especially about primate behavior. They want if Keys back next year, he could do a short field course with Bogor Agricultural University students. The program became annual, and by 1995, UW students were joining the Indonesian ones in the field study program.
He's been doing annual field training programs with partner institutions in a number of countries since then. Given that the collaborative programs originated through the primate center, they have focused on primates. But Kyes wanted to take the next step and expand into general environmental issues as well as into global health."
Randall Kyes menjalankan Pusat Studi Lapangan Global, yang bersama-sama berafiliasi dengan Kantor Urusan Global, Departemen Psikologi dan Pusat Penelitian Primata Nasional Washington. pernyataan misi resmi pusat itu adalah "untuk memfasilitasi dan menyediakan pendidikan berbasis lapangan, penelitian dan kesempatan outreach untuk mahasiswa dan profesional dari University of Washington dan lembaga-lembaga kemitraan di seluruh dunia dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan global dan lingkungan. Kyes telah melakukan program pelatihan bidang kolaboratif di Indonesia sejak 1991, dan dari waktu ke waktu telah menambahkan program di Thailand, Bangladesh, Cina, India, Nepal, Kongo, Brasil dan Meksiko. Semuanya dimulai dengan penelitian sendiri.
Kembali pada tahun 1990, Kyes berada di Indonesia melakukan survei populasi beberapa ekor monyet di sebuah pulau terpencil P. Tinjil) , dan rekan Indonesia di Institut Pertanian Bogor mengatakan keinginanya untuk belajar mengenai teknik survei khususnya tentang tingkah laku primata. Jika Keys kembali tahun depannya maka ia bersedia mengadakan studi lapangan bersama mahasiswa IPB. Program ini menjadi program tahunan, dan pada tahun 1995, mahasiswa UW dan Indonesia bergabung dalam program studi lapangan. Sejak itu Dia telah melakukan program pelatihan lapangan tahunan dengan lembaga-lembaga mitra di sejumlah negara
Mengingat bahwa program kolaboratif berasal melalui pusat primata, mereka fokus pada primata. Tapi Kyes ingin mengambil langkah berikutnya dan memperluas dalam isu-isu lingkungan umum serta dalam kesehatan global.
KONSERVASI, PENELITIAN DAN OUTREACH
Fokus utama dalam konservasi adalah jumlah populasi (abundance), habitat, genetic dan transmisi pathogen. Jadi dalam menyukseskan konservasi lingkungan harus dilakukan kerjasama (partnership) oleh kalangan professional (peneliti), WARGA LOKAL, kalangan intelektual, jurnalis lingkungan maupun masyarakat awam.
Kalangan yang lebih mengerti tentang lingkungan tentu telah menyadari pentingnya konservasi tentang lingkungan, jadi kerjasama dengan jurnalis yang juga mengerti tentang lingkungan dapat membantu publikasi terhadap masyarakat awam. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pendidikan mengenai konservasi sejak usia dini. Prof. Randy bersama dengan rekan-rekannya telah melakukannya di Indonesia, Nepal, Bangladesh, China dan beberapa Negara yang menjadi tempat penelitiannya mengenai lingkungan khususnya primata.
Banyak hal yang menjadi kendala dalam menjalankan usaha konservasi terutama “uang” namun jika dilakukan dengan bersama-sama tentu dapat diselesaikan.
Prof Randy bilang “Bersama kita bisa”…. Hehehe, pak Randy juga bisa bahasa Indonesia.
Di Indonesia Pak Randy melakukan usaha konservasinya di Cagar Alam Tangkoko Duasudara Bitung, Sulawesi Utara. Hasilnya populasi dari monyet (Macaca Nigra), leaky… meningkat. Sebelumnya sempat sangat turun dengan drastis. Penurunan kemungkinan diakibatkan perburuan, karena di Sulawesi Utara daging monyet menjadi salah satu makanan yang digemari. Tubuh-tubuh monyet yang tak bernyawa dapat dengan mudah ditemukan di pasar-pasar (saying ga dapet fotonya, benar-benar mengenaskan). Ini menjadi salah satu komoditi dan memerlukan satu pemecahan, karena jika terus berlanjut akan membahayakan populasi monyet secara alami. Kawasan Cagar Alam biasanya menjadi salah satu objek wisata, turis asing maupun mancanegara dapat berinteraksi langsung dengan monyet. Interaksi ini tentu memiliki kosekuensi kemungkinan transmisi dari penyakit misalnya TB (Tuberculosis). Dalam penelitiannya Pak Randy juga menemukan monyet-monyet baik infant, juvenile maupun dewasa mengalami campak, hal ini kemungkinan disebabkan karena interaksi yang terjadi dengan lingkungan termasuk manusia.
Pak Randy aktif dalam kegiatan field training karena dapat disadari bahwa konservasi dilakukan demi kehidupan untuk generasi selanjutnya.
Global Field Training in Conservation Biology
Ultimately, the conservation of animals and their habitats is in the hands of the people who share the habitat with the creatures. To that end, Global Field Training in Conservation Biology focuses on the next generation of conservation leaders around the world - the university students and professionals working in a range of settings - who will be responsible for the management and conservation of the world’s biodiversity.
Many of the field training programs are conducted in protected areas like national parks and nature reserves, or in areas of high conservation concern. The training programs also focus attention on key species in the area, like primates in Indonesia, elephants in Bangladesh and snow leopards in Nepal.
Global Field Training in Conservation Biology also conducts conservation education programs for local schoolchildren. Many of the schools are located in impoverished, rural areas near the field training sites. These children often do not have access to the most basic educational opportunities. (WPZ)
“Orang asing saja peduli dengan Indonesia kenapa kita tidak?”
Rabu, 04 Agustus 2010
Tahun Kedua...
Tahun kedua aku mulai mulai jadi anak kost. Sebenernya ga jauh beda dengan tinggal di tempat tante dulu. Cuma yang ngebedain hanya lebih tenang karena sepupuku yang super usil ga ada hehehe…. Maklum kalau anak kecil banyak rasa pingin tahunya jadi suka pada usil. Awal semester tiga jumlah mahasiswa 2008 makin ciut alias berkurang tapi jumlah kami yang duduk semakin banyak karena kakak kelas banyak yang kembali mengambil mata kuliah di semester tiga. Banyak mata kuliah yang baru dan dosen yang baru yang mengajar.
Kontrak uliah selalu menjadi selalu pokok bahasan yang wajib diawal perkuliahan. Tapi tak banyak dosen yang mangkir dan tidak memberikan kontrak kuliah dan ujung-ujungnya saat pengumuman nilai, kami menjadi agak sok karena ternyata persentase nilai yang jatuh lebih besar. Ujian tengah semester (UTS) 1 10%, UTS 2 10 %, tugas 20 %, praktikum 20%, UAS 40%. Yah persentasenya ga jauh-jauh dari nilai itu, tapi biasanya kami berkompromi dengan nilai tugas agar lebih dinaikkan persentasenya, kadang disetujui kadang juga agak sulit.
“ Ga bisa dik, ini sudah keputusan rapat jadi tetep harus segitu”, jawab dosen.
Yah, kadang agak bingung juga kenapa harus bertanya “apakah anda setuju?”, toh juga ujung-ujungnya kita tidak bisa berkompromi. Untuk membesarkan hati kami hanya mengingat kembali satu pasal yakni pasal 1 “Dosen selalu benar” dan pasal 2 “Jika dosen salah kembali ke pasal satu”. Tidak semua dosen “saklek” alias ga bisa diganggung gugat. Banyak juga yang bisa diajak berkompromi masalah kontrak kuliah, karena ga ada yang ga mungkin kalau komunikasi kita bangun dua arah. Cihui… mulai aneh kata-kataku. Banyak kelucuan yang terjadi, bikin kesel tapi mengundang tawa. Mulai tingkah dosen yang aneh-aneh sampai kejadian-kejadian yang ga disangka bakal terjadi.
Misalnya saja kuliah pertama patologi umum. Korti berusaha menghubungi dosen yang harusnya ngajar tapi uda lewat 30 menit belum datang.
“Selamat pagi bapak, saya korti semester 3, bapak ada jadwal mengajar hari ini.”
Sang dosen pun menyaut, “Lho, saya tidak ada jadwal hari ini”.
Korti kembali menyahut, “maaf pak kemarin bapak koordinator mata kuliah bilang sekarang jadwal bapak…”
Bapak dosen kembali membela diri,” Tapi kok saya ga di kasi tahu ya???”
“wah, saya juga kurang tahu bapak, maaf sebelumnya ini dengan bapak Sena, pengajar patologi umum?”.
“Oh, bukan. Saya pak Eka. Saya ngajar patologi Klinik”
“Maaf pak, saya salah, sekali lagi maaf”
Kejadian seperti itu sering terjadi jika satu tim dosen mata kuliah mungkin kurang koordinasi. Kami menunggu dosen berlama-lama tapi tak kunjung tiba. Atau mungkin dosen koordinator mata kuliah salah memberikan nomor telepon dosen yang seharusnya mengajar. Ujung-ujungnya langsung dikasi handout alias bahan kuliah dan langsung ujian deh…
Selain teori kita juga asik menikmati perkuliah di laboratorium. Menggunakan hewan-hewan sebagai kelinci percobaan. Anjing, mencit, kelinci dan ayam menjadi sasaran empuk untuk bahan praktikum. Disemester satu dan dua juga kami melakukanya hanya semester dulu tidak langsung menggunakan hewan coba, pada semester 3 praktikum lebih menyenangkan terutama untuk mata kuliah Mikrobiologi. Satu mata kuliah yang baru kami dapat di semester tiga. Selain itu parasitologi juga jadi satu mata kuliah baru yang bikin geli. Kenapa??? Berbagai spesies cacing akan dipelajari, bergeliat, licin dan kecil. Selain itu di lab mikrobiologi koloni bakteri selalu jadi bahan obrolan.
Satu kejadian aneh praktikum adalah saat kami akan praktikum dengan salah satu bapak Dosen. Jadwalnya praktikum jam setengah tiga tapi jam 3 praktikum tak kunjung di mulai. “Kunci lab” menjadi barang yang paling dicari dan menjadi pembicaraan hangat selama 30 menit berlalu.
“Dik, boleh saya pinjem hpnya???”, bapak Doni menepuk bahuku dari belakang.
“Oh iya silahkan pak”, sahutku tanpa ragu.
“Saya mau telpon ibu Jeny, mungkin kunci dibawa olehnya”, pak Doni menambahi. Ibu Jeny adalah dosen satu tim dengan pak Doni. Tapi yang paling membuat aku tidak mengerti adalah pak Doni tetap menggunakan hpnya untuk menelpon ibu Jeny tapi pak Doni mngetik nomor Ibu Jeny di hpku sambil memandanginya. Kejadian itu membuat kami para mahasiswa tertawa ngakak dalam hati. Dan tertawa ngakak di mulut saat praktikum telah berakhir pukul 5 sore karena kami baru berhasil masuk sekitar pukul setengah 4 sore. Entahlah apa maksud pak Doni meminjam hpku tapi tak jadi menggunakannya.
Di lab mikro kita bisa ngecek langsung koloni bakteri yang ada di sekitar kita. Mulai makanan dan minuman hingga hal-hal yang begitu dekat dengan kita. Misalnya saja waktu itu kami mengambil sampel air kemasan isi ulang dan daging. Saat kesokan harinya dilihat cawan petri (tempat menanam bakteri dan biasanya ada agar biar bakterinya tumbuh; wah, kalau diceritain jenis-jenis agarnya bisa kuliah kita ampe setahun hehehe…) ternyata banyak bakteri yang bermain ria di agar. Tapi meski sudah tahu tetap saja aku minum kemasan isi ulang, harus disesuai’in dengan kantong anak kos yang penting ga bikin diare.
Masa-masa ga ada kuliah dan libur pasti jadi surga, tapi kalau udah deket ujian kata-kata yang paling tepat adalah “Welcome to Hell”…
Ujian akhir semester (UAS) sesester 3 tidak jauh berbeda dengan UAS-UAS sebelumnya. Liburan yang diperoleh juga agak singkat karena karena peralihan dari semester ganjil ke semester genap tak terlalu panjang.
Semester empat, metode pengajaran 90% berubah. Semua dosen memberikan tugas plus tugas persentasi. Ajippp…. Ampe pacaran dengan powerpoint, tiap hari kerjaannya cuma nongolin powerpoint depan computer. Tapi tetep masih ada yang suka metode lama dengan kuliah ceramah.
Bukan mahasiswa namanya kalau ngumpul dikantin ga ngrumpi’in dosen-dosen. Mulai dari cara ngajar, penampilan alias fashion, pelit ga sama nilai, ngaret waktu, pokoke ampe cara jalan pun diomongin.
Memang cara mengajar masing-masing dosen berbeda. Ada yang ngaret ampe 30 menitan atau bahkan ampe sejam. Ada juga yang ngajar sambil duduk diatas meja sambil memainkan laptop ditangan, diputer-puter, dinaik turunin. Pertanyaanya “Apa ga capek tangan si Bapak megang laptop ampe perkuliahan berakhir??”. Ada juga penampilan dosen modis abis, tapi lumayan juga jadi ga terlalu ngebosenin kalau dilihat. Tapi yang bikin salut adalah dosen parasit yang selalu kompak. Susunan jadwal kuliah yang teratur dan sesuai, bahan kuliah yang gampang diakses lewat dunia maya plus nilai yang juga dipulikasi lewat web, kalau ada award buat mata kuliah terbaik kayaknya parasit bakal jadi favorit juara.
Kuliah-praktikum jadi rutinitas. Kadang jenuh karena yang dilakukan hanya itu-itu saja. Tapi banyak hal yang aku dapat kalau ngobrol dengan dosen di luar jam kuliah.
Banyak julukan yang diberikan untuk dosen sesuai dengan karakter mereka yang pasti lucu-lucu abis.
Selain ngrumpi di kantin jejaring facebook jadi satu alternative untuk salik “walek” atau saling ejek. Mulai foto-foto yang diambil dengan posisi yang aneh sampai foto hasil editan yang jadi bahan obrolan.
Kuliah Diagnosa klinik jadi mata kuliah yang paling fres di semester empat. Praktikumnya serasa kami sudah jadi dokter beneran. Ngecek denyut jantung, ngecek gerak reflek, periksa cara jalan, pokoknya “being a real veterinary”.
Hari itu adalah hari rabu, jadwal mata kuliah diagnose klinik, tapi dosen yang paling dinanti tak kunjung tiba. Ku putuskan untuk menghubunginya.
“Selamat pagi bapak, jadwal hari ini anak semester 4 diagnosa klinik dan dosen pengajarnya bapak”.
“Oh iya, saya sudah di jalan. Ini lagi macet, tolong tunggu sebentar”
“Baik, terimakasih pak”
Pikirku pak Edi akan tiba beberapa menit lagi. Tapi satu jam berlalu bapak dosen yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Hingga usai praktikum pukul 16.00 pun bapak dosen tidak kunjung datang. Yah, sudah enam setengah jam berlalu sejak aku menelpon, pak Edi tak datang juga. Entahlah, yang dimaksud tadi pak Edi sudah dijalan mana, ckckckck…
Kejadian yang ga kalah aneh juga terjadi beberapa minggu kemudian. Hari kamis yang cerah, bersiap untuk belajar berbagai penyakit yang menyerang hewan. Dosennya Ibu Jeny, selalu fashionable, penampilannya yang jelas ga pernah ngebosenin buat dilihat. Ibu Jeny memang datang mengajar selalu telat tapi jam mengajarnya tak pernah berkurang artinya sama aja, meskipun Ibu jeny datang telat waktu ngajarnya tetep aja 2 jam. Hari itu ibu Jeny sudah menelpon dan mengatakan akan datang telat. Dengan sabar kami menunggu dan menunggu….
Akhirnya ibu jeny datang juga, dengan senyum yang khas Ibu Jeny menyapa kami.
“Selamat siang”
“Selamat siang ibu”, sahut kami serentak.
“Aduh, saya agak capek, gimana kalau hari ini ga usah kuliah”.
Kami langsung berpandangan satu sama lain. Apa maksudnya ibu Jeny mengatakan itu. Berjam-jam kami menunggunya, setelah sampai malah bilang tidak usah kuliah. Sedikit menggelitik, kenapa si Ibu tidak mengatakan saja ditelpon kalau dia tidak mengajar, kenapa harus datang jauh-jauh dan membuat kami menunggu kalau ujung-ujungnya malah tidak kuliah. Kadang dosen adalah orang yang paling tidak bisa aku mengerti jalan pikirannya. Mungkin karena mereka adalah orang-orang luar biasa dan sering melakukan hal-hal yang tidak biasa.
Banyak cerita yang bikin semuanya terasa ga terlalu datar. Banyak cinta lokasi juga yang ga disangka-sangka. Tapi sayangnya aku baru tahu kalau temenku pacaran saat mereka sudah putus. Biasanya kalau ditanya “kenapa??” Sudah bisa ditebak jawabannya seperti alas an-alasan para artis berpisah “perbedaan prinsip”.
Ujian akhis Semester juga berjalan seperti tahun sebelumnya. Banyak soal-soal UTS yang dikeluarkan. Maklum bahan UAS adalah materi-materi yang diajarkan dari awal semester. Kata temen-temen fakultas lain materi UAS hanya dari materi yang diajarkan stelah UTS, tapi difakultas kami adalah yang paling berbeda, karena Kami adalah fakultas yang Luar Biasa hehehehe….
Saat-saat pengumuman nilai akhir adalah hal yang paling mendebarkan. Wara-wiri mengunjungi laboratorium hanya untuk sekedar melihat apakah nilai sudah ditempel. Sibuk ngewall di facebook dosen untuk nyain nilai, nelpon dosen dan nanya kakak kelas yang kebetulan ortunya jadi dosen. Begitu nilai keluar hal pertama disiapkan adalah “uang”. Kenapa?? Ya, bersiap untuk perbaikan dan bayarnya per SKS, lumayan nguras jika nilainya banyak yang ga bagus. Bagi yang perbaikan mungkin waktu yang seharusnya jadi liburan bakal jadi waktu belajar ekstra tapi bagi yang tidak ikut perbaikan libur panjang telah menanti.
Kontrak uliah selalu menjadi selalu pokok bahasan yang wajib diawal perkuliahan. Tapi tak banyak dosen yang mangkir dan tidak memberikan kontrak kuliah dan ujung-ujungnya saat pengumuman nilai, kami menjadi agak sok karena ternyata persentase nilai yang jatuh lebih besar. Ujian tengah semester (UTS) 1 10%, UTS 2 10 %, tugas 20 %, praktikum 20%, UAS 40%. Yah persentasenya ga jauh-jauh dari nilai itu, tapi biasanya kami berkompromi dengan nilai tugas agar lebih dinaikkan persentasenya, kadang disetujui kadang juga agak sulit.
“ Ga bisa dik, ini sudah keputusan rapat jadi tetep harus segitu”, jawab dosen.
Yah, kadang agak bingung juga kenapa harus bertanya “apakah anda setuju?”, toh juga ujung-ujungnya kita tidak bisa berkompromi. Untuk membesarkan hati kami hanya mengingat kembali satu pasal yakni pasal 1 “Dosen selalu benar” dan pasal 2 “Jika dosen salah kembali ke pasal satu”. Tidak semua dosen “saklek” alias ga bisa diganggung gugat. Banyak juga yang bisa diajak berkompromi masalah kontrak kuliah, karena ga ada yang ga mungkin kalau komunikasi kita bangun dua arah. Cihui… mulai aneh kata-kataku. Banyak kelucuan yang terjadi, bikin kesel tapi mengundang tawa. Mulai tingkah dosen yang aneh-aneh sampai kejadian-kejadian yang ga disangka bakal terjadi.
Misalnya saja kuliah pertama patologi umum. Korti berusaha menghubungi dosen yang harusnya ngajar tapi uda lewat 30 menit belum datang.
“Selamat pagi bapak, saya korti semester 3, bapak ada jadwal mengajar hari ini.”
Sang dosen pun menyaut, “Lho, saya tidak ada jadwal hari ini”.
Korti kembali menyahut, “maaf pak kemarin bapak koordinator mata kuliah bilang sekarang jadwal bapak…”
Bapak dosen kembali membela diri,” Tapi kok saya ga di kasi tahu ya???”
“wah, saya juga kurang tahu bapak, maaf sebelumnya ini dengan bapak Sena, pengajar patologi umum?”.
“Oh, bukan. Saya pak Eka. Saya ngajar patologi Klinik”
“Maaf pak, saya salah, sekali lagi maaf”
Kejadian seperti itu sering terjadi jika satu tim dosen mata kuliah mungkin kurang koordinasi. Kami menunggu dosen berlama-lama tapi tak kunjung tiba. Atau mungkin dosen koordinator mata kuliah salah memberikan nomor telepon dosen yang seharusnya mengajar. Ujung-ujungnya langsung dikasi handout alias bahan kuliah dan langsung ujian deh…
Selain teori kita juga asik menikmati perkuliah di laboratorium. Menggunakan hewan-hewan sebagai kelinci percobaan. Anjing, mencit, kelinci dan ayam menjadi sasaran empuk untuk bahan praktikum. Disemester satu dan dua juga kami melakukanya hanya semester dulu tidak langsung menggunakan hewan coba, pada semester 3 praktikum lebih menyenangkan terutama untuk mata kuliah Mikrobiologi. Satu mata kuliah yang baru kami dapat di semester tiga. Selain itu parasitologi juga jadi satu mata kuliah baru yang bikin geli. Kenapa??? Berbagai spesies cacing akan dipelajari, bergeliat, licin dan kecil. Selain itu di lab mikrobiologi koloni bakteri selalu jadi bahan obrolan.
Satu kejadian aneh praktikum adalah saat kami akan praktikum dengan salah satu bapak Dosen. Jadwalnya praktikum jam setengah tiga tapi jam 3 praktikum tak kunjung di mulai. “Kunci lab” menjadi barang yang paling dicari dan menjadi pembicaraan hangat selama 30 menit berlalu.
“Dik, boleh saya pinjem hpnya???”, bapak Doni menepuk bahuku dari belakang.
“Oh iya silahkan pak”, sahutku tanpa ragu.
“Saya mau telpon ibu Jeny, mungkin kunci dibawa olehnya”, pak Doni menambahi. Ibu Jeny adalah dosen satu tim dengan pak Doni. Tapi yang paling membuat aku tidak mengerti adalah pak Doni tetap menggunakan hpnya untuk menelpon ibu Jeny tapi pak Doni mngetik nomor Ibu Jeny di hpku sambil memandanginya. Kejadian itu membuat kami para mahasiswa tertawa ngakak dalam hati. Dan tertawa ngakak di mulut saat praktikum telah berakhir pukul 5 sore karena kami baru berhasil masuk sekitar pukul setengah 4 sore. Entahlah apa maksud pak Doni meminjam hpku tapi tak jadi menggunakannya.
Di lab mikro kita bisa ngecek langsung koloni bakteri yang ada di sekitar kita. Mulai makanan dan minuman hingga hal-hal yang begitu dekat dengan kita. Misalnya saja waktu itu kami mengambil sampel air kemasan isi ulang dan daging. Saat kesokan harinya dilihat cawan petri (tempat menanam bakteri dan biasanya ada agar biar bakterinya tumbuh; wah, kalau diceritain jenis-jenis agarnya bisa kuliah kita ampe setahun hehehe…) ternyata banyak bakteri yang bermain ria di agar. Tapi meski sudah tahu tetap saja aku minum kemasan isi ulang, harus disesuai’in dengan kantong anak kos yang penting ga bikin diare.
Masa-masa ga ada kuliah dan libur pasti jadi surga, tapi kalau udah deket ujian kata-kata yang paling tepat adalah “Welcome to Hell”…
Ujian akhir semester (UAS) sesester 3 tidak jauh berbeda dengan UAS-UAS sebelumnya. Liburan yang diperoleh juga agak singkat karena karena peralihan dari semester ganjil ke semester genap tak terlalu panjang.
Semester empat, metode pengajaran 90% berubah. Semua dosen memberikan tugas plus tugas persentasi. Ajippp…. Ampe pacaran dengan powerpoint, tiap hari kerjaannya cuma nongolin powerpoint depan computer. Tapi tetep masih ada yang suka metode lama dengan kuliah ceramah.
Bukan mahasiswa namanya kalau ngumpul dikantin ga ngrumpi’in dosen-dosen. Mulai dari cara ngajar, penampilan alias fashion, pelit ga sama nilai, ngaret waktu, pokoke ampe cara jalan pun diomongin.
Memang cara mengajar masing-masing dosen berbeda. Ada yang ngaret ampe 30 menitan atau bahkan ampe sejam. Ada juga yang ngajar sambil duduk diatas meja sambil memainkan laptop ditangan, diputer-puter, dinaik turunin. Pertanyaanya “Apa ga capek tangan si Bapak megang laptop ampe perkuliahan berakhir??”. Ada juga penampilan dosen modis abis, tapi lumayan juga jadi ga terlalu ngebosenin kalau dilihat. Tapi yang bikin salut adalah dosen parasit yang selalu kompak. Susunan jadwal kuliah yang teratur dan sesuai, bahan kuliah yang gampang diakses lewat dunia maya plus nilai yang juga dipulikasi lewat web, kalau ada award buat mata kuliah terbaik kayaknya parasit bakal jadi favorit juara.
Kuliah-praktikum jadi rutinitas. Kadang jenuh karena yang dilakukan hanya itu-itu saja. Tapi banyak hal yang aku dapat kalau ngobrol dengan dosen di luar jam kuliah.
Banyak julukan yang diberikan untuk dosen sesuai dengan karakter mereka yang pasti lucu-lucu abis.
Selain ngrumpi di kantin jejaring facebook jadi satu alternative untuk salik “walek” atau saling ejek. Mulai foto-foto yang diambil dengan posisi yang aneh sampai foto hasil editan yang jadi bahan obrolan.
Kuliah Diagnosa klinik jadi mata kuliah yang paling fres di semester empat. Praktikumnya serasa kami sudah jadi dokter beneran. Ngecek denyut jantung, ngecek gerak reflek, periksa cara jalan, pokoknya “being a real veterinary”.
Hari itu adalah hari rabu, jadwal mata kuliah diagnose klinik, tapi dosen yang paling dinanti tak kunjung tiba. Ku putuskan untuk menghubunginya.
“Selamat pagi bapak, jadwal hari ini anak semester 4 diagnosa klinik dan dosen pengajarnya bapak”.
“Oh iya, saya sudah di jalan. Ini lagi macet, tolong tunggu sebentar”
“Baik, terimakasih pak”
Pikirku pak Edi akan tiba beberapa menit lagi. Tapi satu jam berlalu bapak dosen yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Hingga usai praktikum pukul 16.00 pun bapak dosen tidak kunjung datang. Yah, sudah enam setengah jam berlalu sejak aku menelpon, pak Edi tak datang juga. Entahlah, yang dimaksud tadi pak Edi sudah dijalan mana, ckckckck…
Kejadian yang ga kalah aneh juga terjadi beberapa minggu kemudian. Hari kamis yang cerah, bersiap untuk belajar berbagai penyakit yang menyerang hewan. Dosennya Ibu Jeny, selalu fashionable, penampilannya yang jelas ga pernah ngebosenin buat dilihat. Ibu Jeny memang datang mengajar selalu telat tapi jam mengajarnya tak pernah berkurang artinya sama aja, meskipun Ibu jeny datang telat waktu ngajarnya tetep aja 2 jam. Hari itu ibu Jeny sudah menelpon dan mengatakan akan datang telat. Dengan sabar kami menunggu dan menunggu….
Akhirnya ibu jeny datang juga, dengan senyum yang khas Ibu Jeny menyapa kami.
“Selamat siang”
“Selamat siang ibu”, sahut kami serentak.
“Aduh, saya agak capek, gimana kalau hari ini ga usah kuliah”.
Kami langsung berpandangan satu sama lain. Apa maksudnya ibu Jeny mengatakan itu. Berjam-jam kami menunggunya, setelah sampai malah bilang tidak usah kuliah. Sedikit menggelitik, kenapa si Ibu tidak mengatakan saja ditelpon kalau dia tidak mengajar, kenapa harus datang jauh-jauh dan membuat kami menunggu kalau ujung-ujungnya malah tidak kuliah. Kadang dosen adalah orang yang paling tidak bisa aku mengerti jalan pikirannya. Mungkin karena mereka adalah orang-orang luar biasa dan sering melakukan hal-hal yang tidak biasa.
Banyak cerita yang bikin semuanya terasa ga terlalu datar. Banyak cinta lokasi juga yang ga disangka-sangka. Tapi sayangnya aku baru tahu kalau temenku pacaran saat mereka sudah putus. Biasanya kalau ditanya “kenapa??” Sudah bisa ditebak jawabannya seperti alas an-alasan para artis berpisah “perbedaan prinsip”.
Ujian akhis Semester juga berjalan seperti tahun sebelumnya. Banyak soal-soal UTS yang dikeluarkan. Maklum bahan UAS adalah materi-materi yang diajarkan dari awal semester. Kata temen-temen fakultas lain materi UAS hanya dari materi yang diajarkan stelah UTS, tapi difakultas kami adalah yang paling berbeda, karena Kami adalah fakultas yang Luar Biasa hehehehe….
Saat-saat pengumuman nilai akhir adalah hal yang paling mendebarkan. Wara-wiri mengunjungi laboratorium hanya untuk sekedar melihat apakah nilai sudah ditempel. Sibuk ngewall di facebook dosen untuk nyain nilai, nelpon dosen dan nanya kakak kelas yang kebetulan ortunya jadi dosen. Begitu nilai keluar hal pertama disiapkan adalah “uang”. Kenapa?? Ya, bersiap untuk perbaikan dan bayarnya per SKS, lumayan nguras jika nilainya banyak yang ga bagus. Bagi yang perbaikan mungkin waktu yang seharusnya jadi liburan bakal jadi waktu belajar ekstra tapi bagi yang tidak ikut perbaikan libur panjang telah menanti.
Tahun Pertama,..
Berumur 18 tahun, tamat SMA beberapa orang berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, Begitupun aku, pinginnya nyari Psikologi, kayaknya seru kalau bisa punya kelebihan bisa mengerti orang lain lebih jauh. Tapi di daerahku tidak ada universitas yang punya fakultas psikologi (tahun 2008). Mau keluar daerah, kayaknya agak susah, masalahnya ortu agak takut anak perempuannya di luar Bali sendirian plus dana yang harus disediakan pasti ga sedikit. Mulai berfikir untuk nyari fakultas lain, tapi yang jelas ga milih fakultas yang ujung-ujungnya guru, bukannya ga suka jadi guru, hanya saja aku ga punya jiwa besar seorang guru hahaha... ngeles, agak kesel kalau ngajarin sekali yang diajarin ga ngerti. Masalahnya aku paling ga suka hal-hal yang terlalu bertele-tele hehehe….
Mulai berfikir untuk berburu fakultas lain. Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM), jadi pilihanku waktu itu, kakak sepupuku juga lulusan IKM, jadi untuk masalah belajar sepertinya tidak akan begitu sulit, pikirku. Jalur PMDK (Penelusura Minat dan Kemampuan) menjadi pilihan untuk masuk satu Universitas Negeri tujuan. Tapi aku mulai ragu saat mengumpulkan form pendaftaran. Entahlah, kata-kata seorang dokter hewan yang ku temui sedikit menggangguku. Katanya, “dokter umum tiap belok satu atau dua blok pasti ada, kalau dokter hewan satu desa kayaknya susah dicari, paling yang adanya cuma mantri hewan”. Terlintas untuk memilih fakultas kedokteran Hewan. Formnya kuambil kembali dan keesokan harinya adalah hari terakhir pengumpulan. Yah, membuatku agak berfikir semaleman. Tapi kuputuskan untuk mngambil jurusan yang katanya tidak terlalu banyak orang yang tertarik mencarinya.
Selain itu aku juga mencoba untuk mendaftar di STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara). Sebenernya cuma iseng untuk mengisi waktu liburan yang panjang dengan beberapa teman. Tapi ada juga salah satu temanku yang lulus, tapi sayangnya tidak diambil karena ia sudah diterima disalah satu perguruan tinggi negeri yang dia inginkan.
Setelah pengumuman kelulusan PMDK dan ternyata lulus, maka mulai sibuk mengurus dan mempersiapkan untuk kuliah di Tahun Pertama. Masa orientasi yang ku kira meyeramkan ternyata tak seperti yang dibayangkan karena perploncoan alias pembodohan tidak diadakan lagi, tapi tetep yang namanya senior harus dihormati walau kadang ada yang terlihat agak sok galak dan teriak-teriak ga jelas ampe bikin telinga mendenging.
Waktu masa orientasi yang paling terkesan bagiku adalah seorang dosen yang menjadi pembicara waktu itu
“ Kita sebagai dokter hewan banyak punya kelebihan dibandingkan dokter manusia. Pertama makhluk yang kita peljari lebih dari satu spesies, dan kita berusaha memahami hewan yang jelas-jelas tidak bisa berkomunkasi dengan kita”. Hm… sepertinya tidak terlalu jauh dengan ilmu psikologi.
Pertama menginjakkan kaki di gedung tempat kuliah, agak ragu kalau itu adalah gedung kuliah. Sampah yang bertabur disana-sini, lantai keramik yang porak-poranda, bahkan saking dekatnya dengan hewan, ayam pun ikut mengikuti perkuliahan sambil bertelur di ruang kuliah.
Aggrrrhhhh…. Sedikit membuatku merasa tidak nyaman di tahun pertama. Di tambah jarak kuliah dari tempat tinggal lumayan jauh. Bayangkan setiap hari harus menemukan 12 lampu merah, jadi kalau bulak-balik kayak setrikaan tiap hari harus melewati 24 lampu merah. Weuw….. Maklim tahun pertama masih tinggal di rumah tante, tapi ga apa yang penting demi cita-cita.
Awal kuliah sedikit tidak nyaman karena banyak hal baru yang harus dilakukan. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan masa-masa SMA dulu. Udara di jalan yang pengap penuh asap kendaraan, macet dan begitu riuh dan krodit di jalan. Di tambah suasana kampus yang tidak begitu nyaman di awal kuliah membuatku berfikir sepertinya tidak akan bertahan lama di sini.
Pertemuan minggu pertama hanya disibukkan dengan perkenalan awal dengan dosen-dosen pengajar dan “kontrak kuliah”. Sedikit asing ditelinga, kontrak kuliah isinya tentang peraturan-peraturan mengenai aturan perkuliah. Aturan yang diatur biasanya lebih menekankan pada nilai, bagi dosen yang agak “perfect” sampai urusan pakaian berkerah pun diatur, maklum kami adalah anak baru lulusan SMA yang biasanya memakai seragam kini menjadi mahasiswa yang harus bisa berpakaian rapi. Awal-awal kami tidak terlalu peduli dengan yang namanya kontrak kuliah dan menyetujui saja apa yang dikatakan dosen. Jadi anak baru yang lugu biasanya awalnya penurut hehehe…
Perkuliahan yang terasa mono dan kurang stereo ( udah kayak lagu ja) menambah kejenuhan dari hari ke hari. Duduk manis, memandang penjelasan dosen lewan LCD, dan begitu terus yang dilakukan dari hari kehari. Hanya beberapa dosen yang mengajar dengan metode yang sedikit menarik.
Teman, membuatku sedikit betah berlama-lama ada di kampus. Satu kelas cukup padat, yah… kami ber-108 ada dalam ruang yang sama. Jika dosen yang menjelaskan di depan dengan volume suara 3 (anggap maksimum 10) maka sudah pasti hanya 10 orang di deret paling depan yang mendengar. Bisa ditebak teman-teman yang ada di belakang akan membuat grup diskusi sendiri, arisan, salon rumpi dan semacamnya.
Kuliah adalah waktu untuk mendengarkan, hanya kadang saja beberapa dosen yang memberikan tugas selebihnya setelah kuliah beberapa kali langsung Ujian. Kuliah biasanya ampe pukul setengah satu siang dan bila ada jadwal praktikum akan dilanjutkan sore harinya.
Ada satu moto yang sering kami ucapkan jika akan ujian,
“Banyak belajar banyak lupa, dikit belajar dikit lupa, ga belajar ga lupa”… moto yang aneh, ga belajar ya ga tahu tapi emank ga lupa….
Bareng dengan anak-anak yang bener-bener punya rasa kebersamaan yang tinggi. Dalam satu kelas sepertinya telah mewakili seluruh pulau se-Indonesia. Dari ujung Barat pulau di Indonesia hingga pulau paling timur. Tapi memang terkadang untuk hal-hal tertentu ada sekat yang sulit untuk bisa dipecah. Mungkin karena si semster awal jadi masih merasa asing satu sama lain.
Selain kuliah yang kadang bikin jenuh kami bisa mengikuti organisasi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dengan sedikit berorganisasi kita bisa punya softskill yang 80% memegang peran penting saat kita lulus dan mencari kerja nanti. Entahlah ada hal yang membuatku menjadi agak canggung, seperti ada hal yang membatasi untuk berbaur di dalamnya. Seperti satu hal yang sebenernya ga ada tapi sangat menghalangi. Tapi meski begitu organisasi masih tetap berjalan. Banyak kegiatan yang diadakan dan membutuhkan banyak energi dan waktu. Jadi harus bisa ngatur antara kuliah dan organisasi karena tetap yang menjadi tujuan utama untuk datang ke kampus adalah untuk belajar (udah kayak emak-emak omongannya.
Berita duka datang saat kami baru mulai kuliah pada kira-kira bulan ke-3. Salah satu teman kami meninggal karena sakit. Dia ternyata menderita sakit yang cukup parah. Namun, yang menjadi pertanyaanku dan teman-teman “kenapa keluarganya mengizinkannya bersekolah begitu jauh kalau dia menderita sakit parah?” Teman kami itu berasal dari pulau Sumatra. Aku ingat teman-teman sering mengejeknya karena namanya mirip nama wanita. Waktu itu seorang dosen mengabsen kami dengan memanggil nama-nama mahasiswa. Saat dosen memanggil namanya
“Noviadi, lho koq? Ini orangnya cowok atau cewek?”
Salah satu teman kami menyahut,
“Kalau pagi cowok pak, Noviadi, tapi kalau malem Novi pak”.
Seketika tawa satu kelas bergemuruh, tertawa riuh. Hanya itu yang bisa kuingat dari seorang teman kami yang hebat dan dengan teguh bertahan di tengah rasa sakitnya. Semoga dia mendapat ketenangan disisi Tuhan.
Kuliah yang bikin sedikit ruwet semester I adalah Anatomi I. Kuliah teori emang ga terlalu beda jauh dengan yang lain tapi kalau udah urusan praktikum emmmm…. Hari Jumat, harinya anatomi. Dari pagi kuliah teori dan ampe matahari hampir tenggelam kami di matengin di lab anatomi. Kami dapat sok terapi waktu praktikum pertama Anatomi. Di laboratorium dengan bau formalin yang menyengat dan dihadepin dengan tulang belulang anjing dan sapi (biasanya kalau di lab dibilangnya tulang dogy/asu/ dan sapeii). Tulangnya sih ga bikin ngeri tapi namanya yang bener-bener bikin kepala rasanya kepenuhan. Tiap tulang (os: sebutan untuk tulang yang jumlahnya cuma satu), punya bagian-bagian tertentu yang namanya beda-beda juga. Tiap legokan, tonjolan, lengkung, tajemnya, bentuknya, tepi, ujung atas, ujung bawah,… pokoke semuanya punya nama yang aneh-aneh. Tapi ketika udah dapet beberapa kali kami mulai bisa dan terbiasa dengan bahasa-bahasa latin si ossa (ossa: sebutan untuk tulang jamak).
UAS (Ujian Akhir Semester) menjadi ritual akhir untuk menutup satu semester yang cukup penat. Belajar…belajar…dan belajar. Dan udah jadi rahasia umum kita pake sistem SKS alias Sistem Kebut Semalam. Tapi itu lebih mending karena ada salah satu temenku yang bertanya,
“Dew, ujian apa hari ini?”
Wow, temen disebelahku bertanya saat 15 menit sebelum ujian dimulai. Hebat, bener-bener hebat temenku yang satu ini. Maksudku di sini, aku memuji ketenangannya, kalau aku mau ujian 15 menit lagi tapi ga tahu jadwal pasti udah keringat dingin. Ckckck… ada-ada aja temenku yang satu nie, dan udah bisa ditebak dia sama sekali ga belajar. Jadi sepertinya lebih mulia belajar SKS dari pada ga sama sekali, tapi tetep belajar jauh-jauh hari pasti jauh lebih baik hasilnya (akh.. omonganku udah kayak dosen di depan kelas).
Saat memulai semester kedua jumlah kami pun mulai berkurang lagi. Maklum, ada yang sudah benar-benar jenuh atau sudah tidak kuat atau mungkin tidak berminat. Bukan rahasia lagi banyak yang memilih fakultas bukan karena pilihan sendiri. Pertama kemungkinan karena pilihan ortu atau hanya tempat pelarian karena fakultas yang menjadi pilihan pertama tidak kesampean.
Mata kuliah pertama di semester ini membuatku cukup terkesan. Satu kalimat yang diucapkan oleh seorang Profesor yang merupakan dosenku menjadi begitu melekat di kepalaku “Jangan pernah memandang siapa yang bicara di depan anda tapi perhatikan apa yang mereka bicarakan”. Meskipun yang berbicara adalah orang yang lebih kecil dari kita bukan berarti yang mereka bicarakan tidak penting, karena kita merasa lebih pintar. Tapi terkadang beberapa dosen enggan bisa diajak ngobrol, entahlah karena jaga wibawa di depan mahasiswa atau hanya sekedar jaim saja. Beliau juga bercerita bagaimana pengalamannya kuliah di luar negeri. Saat itu badai salju, Pak Awan (panggilan kami untuk pak professor) dengan seorang professor yang juga dosen pembimbingnya harus mengambil sampel di kandang yang lumayan jauh. Setelah usai mengambil sampel mereka hendak kembali ke kampus dan terlebih dahulu membersihkan sepatu yang kotor. Bagian yang paling menarik adalah dosen pembimbing yang juga seorang professor membersihkan sepatu pak Awan yang kala itu adalah mahasiswanya. Dengan sedikit terkejut pak Awan mengucapkan terimakasih tapi dengan kejadian itu pak Awan semakin menghormati pembimbingnya, karena telah melakukan hal yang luar biasa yang mungkin beberapa dosen akan berpikir berkali lipat untuk mellakukan hal yang sama.
Menjadi semakin akrab dengan temen-temen yang lain, kalau ga ada dosen dah pasti pada rame-rame ngantin. Tapi yang males pada ngerumpi di kelas atau ada yang balik ke kost-an. Cara dosen ngajar sih sama aja masih ceramah, walau kadang ada juga yang pake presentasi, misalnya untuk mata kuliah histology. Dosen hanya persentasi sebentar dan selanjutnya kami yang menjadi dosen alias ngejelasin materi di depan.
Kuliah anatomi II menjadi seru karena kami harus mencari kadafer (bahan praktikum anjing). Beda dengan anatomi I yang hanya mempelajari tulang yang telah disediakan, kali ini kami harus mendapatkan anjing untuk bahan praktikum. Ngejar anjing kesana-sini, dan membunuhnya. Ada yang membelinya, ada juga yang mendapatkan cuma-cuma dari warga, maklum waktu itu penyakit rabies sedang terjangkit jadi banyak warga yang agak takut memelihara anjing. Tiap tahun fakultas yang kini aku cintai selalu menjadi pengendali populasi anjing karena memburunya untuk bahan praktikum.
Menoreh kadafer dengan pinset dan scuple jadi rutinitas di lab anatomi tiap jumat, memainkan lensa mikroskop jadi kebiasaan di lab histologi tiap kamis, menyutikkan berbagai obat di lab farmakologi pada mencit dan keinci menjadi hal yang paling membuat jantungku berdebar tiap selasa, temen-temen cowok harus bangun jam 1 pagi untuk mendapatkan darah sapi di RPH (Rumah Potong Hewan) sebagai bahan praktikum fisiologi. Hal-hal yang membuat kami semakin dekat dan menjadi satu keluarga besar “Masyarakat Fakultas Kedokteran Hewan 2008”.
Di akhir semester UAS dan Ujian praktikum menjadi kesibukan yang paling melelahkan. Bulak-balik lab untuk review, dan belajar materi yang seabrek….
Tapi kalau belajar dengan baik, semuanya terlewati dengan baik.
Akhirnya, it’s time for holiday…. Tapi beberapa temen harus tetep belajar karena ada beberapa nilai yang harus diperbaiki. Liburan semester genap, tenggang liburnya lumayan lama. Jadi upacara suci selanjutnya adalah “mahasiswa pulang kampoeng”. Kalau yang sibuk di BEM bersiap untuk rapat terus untuk nyiapin berbagai kegiatan termasuk untuk penerimaan mahasiswa baru. Yah, kami akan terpisah hingga awal semester 3 nanti… C U then…
ALWAYS TOGHETER…
Mulai berfikir untuk berburu fakultas lain. Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM), jadi pilihanku waktu itu, kakak sepupuku juga lulusan IKM, jadi untuk masalah belajar sepertinya tidak akan begitu sulit, pikirku. Jalur PMDK (Penelusura Minat dan Kemampuan) menjadi pilihan untuk masuk satu Universitas Negeri tujuan. Tapi aku mulai ragu saat mengumpulkan form pendaftaran. Entahlah, kata-kata seorang dokter hewan yang ku temui sedikit menggangguku. Katanya, “dokter umum tiap belok satu atau dua blok pasti ada, kalau dokter hewan satu desa kayaknya susah dicari, paling yang adanya cuma mantri hewan”. Terlintas untuk memilih fakultas kedokteran Hewan. Formnya kuambil kembali dan keesokan harinya adalah hari terakhir pengumpulan. Yah, membuatku agak berfikir semaleman. Tapi kuputuskan untuk mngambil jurusan yang katanya tidak terlalu banyak orang yang tertarik mencarinya.
Selain itu aku juga mencoba untuk mendaftar di STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara). Sebenernya cuma iseng untuk mengisi waktu liburan yang panjang dengan beberapa teman. Tapi ada juga salah satu temanku yang lulus, tapi sayangnya tidak diambil karena ia sudah diterima disalah satu perguruan tinggi negeri yang dia inginkan.
Setelah pengumuman kelulusan PMDK dan ternyata lulus, maka mulai sibuk mengurus dan mempersiapkan untuk kuliah di Tahun Pertama. Masa orientasi yang ku kira meyeramkan ternyata tak seperti yang dibayangkan karena perploncoan alias pembodohan tidak diadakan lagi, tapi tetep yang namanya senior harus dihormati walau kadang ada yang terlihat agak sok galak dan teriak-teriak ga jelas ampe bikin telinga mendenging.
Waktu masa orientasi yang paling terkesan bagiku adalah seorang dosen yang menjadi pembicara waktu itu
“ Kita sebagai dokter hewan banyak punya kelebihan dibandingkan dokter manusia. Pertama makhluk yang kita peljari lebih dari satu spesies, dan kita berusaha memahami hewan yang jelas-jelas tidak bisa berkomunkasi dengan kita”. Hm… sepertinya tidak terlalu jauh dengan ilmu psikologi.
Pertama menginjakkan kaki di gedung tempat kuliah, agak ragu kalau itu adalah gedung kuliah. Sampah yang bertabur disana-sini, lantai keramik yang porak-poranda, bahkan saking dekatnya dengan hewan, ayam pun ikut mengikuti perkuliahan sambil bertelur di ruang kuliah.
Aggrrrhhhh…. Sedikit membuatku merasa tidak nyaman di tahun pertama. Di tambah jarak kuliah dari tempat tinggal lumayan jauh. Bayangkan setiap hari harus menemukan 12 lampu merah, jadi kalau bulak-balik kayak setrikaan tiap hari harus melewati 24 lampu merah. Weuw….. Maklim tahun pertama masih tinggal di rumah tante, tapi ga apa yang penting demi cita-cita.
Awal kuliah sedikit tidak nyaman karena banyak hal baru yang harus dilakukan. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan masa-masa SMA dulu. Udara di jalan yang pengap penuh asap kendaraan, macet dan begitu riuh dan krodit di jalan. Di tambah suasana kampus yang tidak begitu nyaman di awal kuliah membuatku berfikir sepertinya tidak akan bertahan lama di sini.
Pertemuan minggu pertama hanya disibukkan dengan perkenalan awal dengan dosen-dosen pengajar dan “kontrak kuliah”. Sedikit asing ditelinga, kontrak kuliah isinya tentang peraturan-peraturan mengenai aturan perkuliah. Aturan yang diatur biasanya lebih menekankan pada nilai, bagi dosen yang agak “perfect” sampai urusan pakaian berkerah pun diatur, maklum kami adalah anak baru lulusan SMA yang biasanya memakai seragam kini menjadi mahasiswa yang harus bisa berpakaian rapi. Awal-awal kami tidak terlalu peduli dengan yang namanya kontrak kuliah dan menyetujui saja apa yang dikatakan dosen. Jadi anak baru yang lugu biasanya awalnya penurut hehehe…
Perkuliahan yang terasa mono dan kurang stereo ( udah kayak lagu ja) menambah kejenuhan dari hari ke hari. Duduk manis, memandang penjelasan dosen lewan LCD, dan begitu terus yang dilakukan dari hari kehari. Hanya beberapa dosen yang mengajar dengan metode yang sedikit menarik.
Teman, membuatku sedikit betah berlama-lama ada di kampus. Satu kelas cukup padat, yah… kami ber-108 ada dalam ruang yang sama. Jika dosen yang menjelaskan di depan dengan volume suara 3 (anggap maksimum 10) maka sudah pasti hanya 10 orang di deret paling depan yang mendengar. Bisa ditebak teman-teman yang ada di belakang akan membuat grup diskusi sendiri, arisan, salon rumpi dan semacamnya.
Kuliah adalah waktu untuk mendengarkan, hanya kadang saja beberapa dosen yang memberikan tugas selebihnya setelah kuliah beberapa kali langsung Ujian. Kuliah biasanya ampe pukul setengah satu siang dan bila ada jadwal praktikum akan dilanjutkan sore harinya.
Ada satu moto yang sering kami ucapkan jika akan ujian,
“Banyak belajar banyak lupa, dikit belajar dikit lupa, ga belajar ga lupa”… moto yang aneh, ga belajar ya ga tahu tapi emank ga lupa….
Bareng dengan anak-anak yang bener-bener punya rasa kebersamaan yang tinggi. Dalam satu kelas sepertinya telah mewakili seluruh pulau se-Indonesia. Dari ujung Barat pulau di Indonesia hingga pulau paling timur. Tapi memang terkadang untuk hal-hal tertentu ada sekat yang sulit untuk bisa dipecah. Mungkin karena si semster awal jadi masih merasa asing satu sama lain.
Selain kuliah yang kadang bikin jenuh kami bisa mengikuti organisasi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dengan sedikit berorganisasi kita bisa punya softskill yang 80% memegang peran penting saat kita lulus dan mencari kerja nanti. Entahlah ada hal yang membuatku menjadi agak canggung, seperti ada hal yang membatasi untuk berbaur di dalamnya. Seperti satu hal yang sebenernya ga ada tapi sangat menghalangi. Tapi meski begitu organisasi masih tetap berjalan. Banyak kegiatan yang diadakan dan membutuhkan banyak energi dan waktu. Jadi harus bisa ngatur antara kuliah dan organisasi karena tetap yang menjadi tujuan utama untuk datang ke kampus adalah untuk belajar (udah kayak emak-emak omongannya.
Berita duka datang saat kami baru mulai kuliah pada kira-kira bulan ke-3. Salah satu teman kami meninggal karena sakit. Dia ternyata menderita sakit yang cukup parah. Namun, yang menjadi pertanyaanku dan teman-teman “kenapa keluarganya mengizinkannya bersekolah begitu jauh kalau dia menderita sakit parah?” Teman kami itu berasal dari pulau Sumatra. Aku ingat teman-teman sering mengejeknya karena namanya mirip nama wanita. Waktu itu seorang dosen mengabsen kami dengan memanggil nama-nama mahasiswa. Saat dosen memanggil namanya
“Noviadi, lho koq? Ini orangnya cowok atau cewek?”
Salah satu teman kami menyahut,
“Kalau pagi cowok pak, Noviadi, tapi kalau malem Novi pak”.
Seketika tawa satu kelas bergemuruh, tertawa riuh. Hanya itu yang bisa kuingat dari seorang teman kami yang hebat dan dengan teguh bertahan di tengah rasa sakitnya. Semoga dia mendapat ketenangan disisi Tuhan.
Kuliah yang bikin sedikit ruwet semester I adalah Anatomi I. Kuliah teori emang ga terlalu beda jauh dengan yang lain tapi kalau udah urusan praktikum emmmm…. Hari Jumat, harinya anatomi. Dari pagi kuliah teori dan ampe matahari hampir tenggelam kami di matengin di lab anatomi. Kami dapat sok terapi waktu praktikum pertama Anatomi. Di laboratorium dengan bau formalin yang menyengat dan dihadepin dengan tulang belulang anjing dan sapi (biasanya kalau di lab dibilangnya tulang dogy/asu/ dan sapeii). Tulangnya sih ga bikin ngeri tapi namanya yang bener-bener bikin kepala rasanya kepenuhan. Tiap tulang (os: sebutan untuk tulang yang jumlahnya cuma satu), punya bagian-bagian tertentu yang namanya beda-beda juga. Tiap legokan, tonjolan, lengkung, tajemnya, bentuknya, tepi, ujung atas, ujung bawah,… pokoke semuanya punya nama yang aneh-aneh. Tapi ketika udah dapet beberapa kali kami mulai bisa dan terbiasa dengan bahasa-bahasa latin si ossa (ossa: sebutan untuk tulang jamak).
UAS (Ujian Akhir Semester) menjadi ritual akhir untuk menutup satu semester yang cukup penat. Belajar…belajar…dan belajar. Dan udah jadi rahasia umum kita pake sistem SKS alias Sistem Kebut Semalam. Tapi itu lebih mending karena ada salah satu temenku yang bertanya,
“Dew, ujian apa hari ini?”
Wow, temen disebelahku bertanya saat 15 menit sebelum ujian dimulai. Hebat, bener-bener hebat temenku yang satu ini. Maksudku di sini, aku memuji ketenangannya, kalau aku mau ujian 15 menit lagi tapi ga tahu jadwal pasti udah keringat dingin. Ckckck… ada-ada aja temenku yang satu nie, dan udah bisa ditebak dia sama sekali ga belajar. Jadi sepertinya lebih mulia belajar SKS dari pada ga sama sekali, tapi tetep belajar jauh-jauh hari pasti jauh lebih baik hasilnya (akh.. omonganku udah kayak dosen di depan kelas).
Saat memulai semester kedua jumlah kami pun mulai berkurang lagi. Maklum, ada yang sudah benar-benar jenuh atau sudah tidak kuat atau mungkin tidak berminat. Bukan rahasia lagi banyak yang memilih fakultas bukan karena pilihan sendiri. Pertama kemungkinan karena pilihan ortu atau hanya tempat pelarian karena fakultas yang menjadi pilihan pertama tidak kesampean.
Mata kuliah pertama di semester ini membuatku cukup terkesan. Satu kalimat yang diucapkan oleh seorang Profesor yang merupakan dosenku menjadi begitu melekat di kepalaku “Jangan pernah memandang siapa yang bicara di depan anda tapi perhatikan apa yang mereka bicarakan”. Meskipun yang berbicara adalah orang yang lebih kecil dari kita bukan berarti yang mereka bicarakan tidak penting, karena kita merasa lebih pintar. Tapi terkadang beberapa dosen enggan bisa diajak ngobrol, entahlah karena jaga wibawa di depan mahasiswa atau hanya sekedar jaim saja. Beliau juga bercerita bagaimana pengalamannya kuliah di luar negeri. Saat itu badai salju, Pak Awan (panggilan kami untuk pak professor) dengan seorang professor yang juga dosen pembimbingnya harus mengambil sampel di kandang yang lumayan jauh. Setelah usai mengambil sampel mereka hendak kembali ke kampus dan terlebih dahulu membersihkan sepatu yang kotor. Bagian yang paling menarik adalah dosen pembimbing yang juga seorang professor membersihkan sepatu pak Awan yang kala itu adalah mahasiswanya. Dengan sedikit terkejut pak Awan mengucapkan terimakasih tapi dengan kejadian itu pak Awan semakin menghormati pembimbingnya, karena telah melakukan hal yang luar biasa yang mungkin beberapa dosen akan berpikir berkali lipat untuk mellakukan hal yang sama.
Menjadi semakin akrab dengan temen-temen yang lain, kalau ga ada dosen dah pasti pada rame-rame ngantin. Tapi yang males pada ngerumpi di kelas atau ada yang balik ke kost-an. Cara dosen ngajar sih sama aja masih ceramah, walau kadang ada juga yang pake presentasi, misalnya untuk mata kuliah histology. Dosen hanya persentasi sebentar dan selanjutnya kami yang menjadi dosen alias ngejelasin materi di depan.
Kuliah anatomi II menjadi seru karena kami harus mencari kadafer (bahan praktikum anjing). Beda dengan anatomi I yang hanya mempelajari tulang yang telah disediakan, kali ini kami harus mendapatkan anjing untuk bahan praktikum. Ngejar anjing kesana-sini, dan membunuhnya. Ada yang membelinya, ada juga yang mendapatkan cuma-cuma dari warga, maklum waktu itu penyakit rabies sedang terjangkit jadi banyak warga yang agak takut memelihara anjing. Tiap tahun fakultas yang kini aku cintai selalu menjadi pengendali populasi anjing karena memburunya untuk bahan praktikum.
Menoreh kadafer dengan pinset dan scuple jadi rutinitas di lab anatomi tiap jumat, memainkan lensa mikroskop jadi kebiasaan di lab histologi tiap kamis, menyutikkan berbagai obat di lab farmakologi pada mencit dan keinci menjadi hal yang paling membuat jantungku berdebar tiap selasa, temen-temen cowok harus bangun jam 1 pagi untuk mendapatkan darah sapi di RPH (Rumah Potong Hewan) sebagai bahan praktikum fisiologi. Hal-hal yang membuat kami semakin dekat dan menjadi satu keluarga besar “Masyarakat Fakultas Kedokteran Hewan 2008”.
Di akhir semester UAS dan Ujian praktikum menjadi kesibukan yang paling melelahkan. Bulak-balik lab untuk review, dan belajar materi yang seabrek….
Tapi kalau belajar dengan baik, semuanya terlewati dengan baik.
Akhirnya, it’s time for holiday…. Tapi beberapa temen harus tetep belajar karena ada beberapa nilai yang harus diperbaiki. Liburan semester genap, tenggang liburnya lumayan lama. Jadi upacara suci selanjutnya adalah “mahasiswa pulang kampoeng”. Kalau yang sibuk di BEM bersiap untuk rapat terus untuk nyiapin berbagai kegiatan termasuk untuk penerimaan mahasiswa baru. Yah, kami akan terpisah hingga awal semester 3 nanti… C U then…
ALWAYS TOGHETER…
Langganan:
Postingan (Atom)